RINGKASAN MUSTHALAHUL HADITS



RINGKASAN MUSTHALAHUL HADITS[1]

Isnad
Isnad merupakan keistimewaan umat ini. Oleh karena itulah, umat Islam disebagai Ummatul Isnad. Dengan isnad diketahui suatu hadits diterima atau ditolak.
Sufyan Ats Tsauriy berkata:
اَلْاِسْنَادُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ، إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ، فَبِأَىِّ شَيْئٍ يُقَاتِلُ ؟
Isnad adalah senjata orang mukmin. Jika ia tidak punya senjata, maka dengan apa ia berperang?” (Disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin 1/27).
Abdullah bin Al Mubarak berkata:
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad itu bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, tentu orang akan berkata seenaknya.” (Disebutkan oleh Imam Muslim dalam Mukadimah kitab shahihnya)
Ibnu Sirin berkata:
كَانَ فِي الزَّمَنِ الْأَوَّلِ لَا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ سَأَلُوا عَنْ الْإِسْنَادِ لِكَيْ يَأْخُذُوا حَدِيثَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَيَدَعُوا حَدِيثَ أَهْلِ الْبِدَعِ
“Di masa pertama, orang-orang tidak mempertanyakan isnad, tetapi ketika terjadi fitnah, maka mereka bertanya tentang isnad, agar mereka (hanya) mengambil hadits Ahlussunnah dan meninggalkan hadits Ahlul Bid’ah.”


Hadits Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan dari orang yang adil yang dhabit (kuat hapalan) dari awal hingga akhir tanpa ada syadz dan ‘illat (cacat).
Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Imam Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah Ath Thuur di shalat Maghrib.
Hadits ini adalah hadits shahih karena terpenuhi syarat-syaratnya, dimana dalam isnadnya para perawinya (periwayatnya) tsiqah, bersambung, tidak syadz atau ber’illat.
Bersambung (ittishal) maksudnya mendengarnya setiap rawi dari rawi selanjutnya.
Isnad maksudnya silsilah para perawi yang menyampaikan nash hadits. Bisa juga maksudnya menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya. Isnad terkadang disebut juga sanad, kecuali ada qarinah (tanda) yang mengalihkan dari makna itu.
Syadz maksudnya riwayat rawi yang diterima menyalahi yang lebih kuat, baik jumlahnya maupun ketsiqahannya.
‘Illat maksudnya sebab yang membuat cacat keshahihan hadits yang tampak di luarnya sebagai hadits shahih. Biasanya ‘illat hadits hanya diketahui oleh orang yang dalam ilmunya tentang hadits.
Orang yang adil adalah rawi yang memiliki sifat yang membuat pelakunya bertakwa, menjauhi dosa-dosa serta merusak harga dirinya di tengah-tengah umat.
Dhabit maksudnya kuat ingatan dan hati, teguh serta bisa menjaga yang ia tulis dari sejak menerima hadits itu dan mendengarnya sampai menyampaikan. Berdasarkan keterangan ini, maka dhabit terbagi dua:
a.       Dhabit shadr (dada), yaitu seorang rawi hapal yang ia dengar dengan hapalan yang memungkinkan untuk menghadirkanya kapan saja ia mau.
b.      Dhabit kitab (kitab), yaitu ia bisa menjaga yang ia tulis sejak mendengarnya dan ia mengesahkannya sampai ia menyampaikannya, ia juga tidak menyerahkan kepada orang yang tidak bisa menjaganya dan memungkinkan untuk merubahnya.

Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan orang yang adil namun kurang kuat hapalannya, tanpa ada syadz dan ‘illat.
Contoh:
أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah syahadat Laailaahaillallah sebelum kamu dihalangi mengucapkannya, dan ajarkanlah kepada orang yang hampir mati di antara kamu.” (HR. Abu Ya’la (6147), Al Khathib dalam Tarikhnya (3/38), Hamzah Al Kananiy dalam Ju’ul bithaaqah (no. 8), Ar Raafi’i dalam Tarikh Qazwiin (4/74) dari dua jalan dari Dhimam bin Isma’il dari Musa bin Wardan dari Abu Hurairah.)
Isnad ini adalah hasan, karena di dalamnya terdapat Dhimam bin Isma’il yang menurut Adz Dzahabi, “Shalih haditsnya, namun sebagian mereka (ahli hadits) menganggapnya lunak tanpa hujjah.”
Abu Zur’ah Al ‘Iraqiy dalam Dzailul Kaasyif hal. 144 menukil dari Imam Ahmad bin Hanbal pendapatnya tentang Dhimam, ia berkata, “Shalih haditsnya,” dan dari Abu Hatim, “Shaduq (sangat jujur) dan ahli ibadah.”, sedangkan dari Nasa’i, “Tidak apa-apa terhadapnya.”
Al Haafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shaduuq, namun terkadang ia keliru.”
Yang seperti ini derajat haditsnya adalah hasan.

Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan karena ada salah satu syaratnya yang hilang.
Hadits dha’if banyak macamnya. Akan dijelaskan nanti macam-macamnya, Insya Allah.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dan Ibnu Kuzaimah serta yang lainnya dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَتَعَاهَدُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ
Apabila kamu melihat seseorang rutin ke masjid, maka saksikanlah keimanannya…dst.”
Hadits ini adalah dha’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang namanya Darraj bin Sam’aan Abus Samh.
Adz Dzahabiy berkata tentangnya, “Darraj itu banyak hadits-hadits munkarnya.”
Imam Ahmad dan lainnya berkata, “Hadits-haditsnya munkar.”
Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib (no. 1824), “Sangat jujur, namun dalam riwayatnya dari Abul Haitsam adalah dha’if.”
Dan di sini Darraj meriwayatkan dari Abul Haitsam.

Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’
Apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (diam Beliau terhadap suatu perbuatan yang disaksikannya) atau sifat fisik maupun akhlak disebut Hadits Marfu’.
Contoh marfu’ ucapan adalah seorang rawi (periwayat) mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:…dst.”
Contoh marfu’ perbuatan adalah seorang rawi mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan…dst.”
Contoh marfu’ yang berupa taqrir adalah seorang rawi mengatakan, “Dilakukan di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal ini atau itu…dst.” Dan tidak ada riwayat pengingkaran dari Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan itu.
Sedangkan contoh marfu’ yang berupa sifat adalah seorang rawi mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya…dst.” (HR. Bukhari dan Muslim) Atau rawi yang mengatakan:
كَانَ أَبْيَض مَلِيحًا مُقَصَّدًا
“Beliau adalah seorang yang putih, manis dan sedang.” (HR. Muslim)
Adapun yang disandarkan kepada para sahabat baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir disebut Mauquf.
Contoh:
Mauquf pada ucapan adalah seperti perkataan Ali bin Abi Thalib  radhiyallahu 'anhu, “Sampaikanlah kepada manusia perkara yang mereka kenali (pahami), sukakah kamu jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq)
Mauquf pada perbuatan adalah seperti perkataan Imam Bukhari, “Ibnu Abbas pernah mengimami, sedangkan Beliau bersuci dengan bertayammum.” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq. Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Riwayat ini disambung oleh Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi dan lainnya, dan isnadnya adalah hasan).
Mauquf yang berupa taqrir adalah seperti perkataan tabi’in, “Saya melakukan perbuatan ini di hadapan seorang sahabat, dan ia tidak mengingkariku.”
Faedah/Catatan:
Apabila seorang sahabat berkata, “ Termasuk Sunnah…dst.” Atau berkata, “Kami di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan ini dan itu…dst.” Atau ia (sahabat) mengatakan suatu perkataan yang di sana bukan ruang berijtihad, maka hal ini tidak dihukumi mauquf, bahkan dinamakan marfu’ hukman (dihukumi marfu’), yakni menduduki posisi perbuatan atau ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari sisi kehujjahannya.
Jika riwayat itu disandarkan (hanya sampai) kepada tabi’in, maka disebut Maqthu’.
Maqthu’ pada ucapan adalah seperti pada perkataan Al Hasan Al Bashriy tentang shalat di belakang Ahli Bid’ah, “Shalatlah (dengannya), sedangkan bid’ahnya adalah untuknya.” (Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq).
Maqthu’ pada perbuatan adalah seperti pada perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Al Muntasyir, “Masruq memasang tirai antara dia dengan keluarganya, ia menghadap kepada shalatnya, membiarkan mereka dan dunia mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ 2/96).

Musnad
Musnad artinya hadits marfu’ yang bersambung sanadnya.
Musnad juga berarti kitab yang di sana dihimpun riwayat-riwayat setiap sahabat secara terpisah, seperti Musnad Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, di sana disebutkan nama setiap sahabat dan hadits-haditsnya.

Musalsal
Musalsal adalah hadits yang para perawi sanadnya bersamaan dari awal hingga akhirnya dalam mengucapkan, atau dalam mencontohkan keadaan atau dalam melakukan perbuatan.
Dalam mengucapkan seperti masing-masing mereka bersumpah dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam mencontohkan keadaan seperti mernyampaikan hadits sambil berdiri.
Dalam melakukan perbuatan seperti tersenyum setelah menyampaikan hadits.
Hukum hadits musalsal ini adalah, bahwa hadits tersebut diterima setelah terpenuhi syarat-syarat untuk diterima.
Ibnush Shalah dalam ‘Ulumul Hadits hal. 249 berkata, “Sedikit sekali hadits musalsal itu yang selamat dari kelemahan, maksud saya, dalam menyifati keadaannya, bukan pada matannya.”
Contoh:
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku berpesan kepadamu wahai Mu’adz, janganlah kamu tinggalkan mengucapkan di akhir setiap shalat, “Allahuumma a’inniy ‘alaa dzikrik wa syukrik wa husni ‘ibaadatik.” (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, untuk bersyukur kepada-Mu dan memperbaiki ibadah kepada-Mu). (HR. Ahmad 5/247, Nasa’i (3/53), Abu Dawud (1522) dan Ibnu Khuzaimah (751) dengan sanad yang shahih).
Disebutkan dalam Musnad Ahmad:
وَأَوْصَى بِذَلِكَ مُعَاذٌ الصُّنَابِحِيَّ وَأَوْصَى الصُّنَابِحِيُّ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَأَوْصَى أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عُقْبَةَ بْنَ مُسْلِمٍ
“Mu’adz berpesan seperti itu kepada Ash Shunabihi (rawi setelahnya), Ash Shunabihi berpesan kepada Abu Abdurrahman, dan Abu ‘Abdurrahman berpesan kepada ‘Uqbah bin Muslim.
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy berkata: Syaikh Abul Faidh Al Fadaniy berkata kepadaku: Sesungguhnya aku mencintaimu, lalu ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku beberapa orang syaikh, yaitu Umar bin Hamdan, Muhammad bin Abdul Baqi Al Laknawi,…dst, dan masing-masingnya berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku mencintaimu.”
Seperti itulah permisalannya.

Hadits ‘Aziz
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang dalam seluruh lapisan sanad dari rawi pertama, dan jumlahnya tidak kurang dari itu.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, dan Bukhari dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kamu sampai aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan manusia semuanya.”
Al Hafizh menerangkan dalam Nuz-hatun Nazhar, bahwa hadits ini diriwayatkan dari Anas oleh:
1.      Qatadah dan Abdul ‘Aziz
2.      Syu’bah dan Sa’id (dari Qatadah)
3.      Isma’il bin ‘Ulayyah dan Abdul Warits (dari Abdul ‘Aziz)
4.      Lalu dari masing-masingnya diriwayatkan oleh jamaah (banyak para perawi).

Hadits Masyhur
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dalam seluruh lapisan sanad namun tidak sampai batasan mutawatir. Hadits ini disebut juga Masyhur Isthilahi.
Contoh:
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mencabut ilmu secara langsung Dia cabut dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Dia tidak menyisakan seorang yang berilmu, maka manusia mengangkat para tokoh yang bodoh, lalu mereka ditanya, sehingga mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Umar oleh tiga orang atau lebih dalam seluruh lapisan sanad sebagaimana disebutkan secara rinci di semua sanad-sanadnya.
Selain Masyhur Ishthilahi di atas ada lagi masyhur yang tidak ishthilahi, dimana hadits tersebut masyhur di kalangan golongan tertentu atau salah satu generasi karena faktor-faktor tertentu, bahkan terkadang suatu hadits masyhur di kalangan manusia namun tidak ada asal usulnya atau tidak ada sanadnya. Masyhur ini terkadang ada yang shahih dan terkadang mutawatir. Contoh masyhur selain masyhur isthilahi adalah:
1.      Masyhur di kalangan Ahli Hadits saja.
2.      Masyhur di kalangan Ahli Hadits, ulama dan masyarakat awam.
3.      Masyhur di kalangan Ahli fiqh.
4.      Masyhur di kalangan Ahli Ushul.
5.      Masyhur di kalangan Ahli Nahwu.
6.      Masyhur di kalangan masyarakat.

Hadits Mu’an’an
Hadits Mu’an’an adalah hadits yang seorang rawinya atau lebih berkata, “Dari fulan, dari fulan…dst.”
Jika rawinya adalah seorang mudallis dan tidak menyebutkan secara tegas tahdits (haddatasana, yang artinya telah menceritakan kepada kami) atau tidak menyebutkan sima’(mendengar)nya, maka hadits tersebut tertolak. Tetapi, jika rawinya tsiqah (terpercaya) dan tsabt (teguh) yang tidak diketahui tadlisnya, maka hadits tersebut diterima, demikian pula apabila hadits itu ada keterangan dengan tegas bahwa rawi mendengarnya berdasarkan riwayat yang lain, maka diterima pula.
Tadlis artinya menyembunyikan cacat. Orangnya disebut mudallis, ia adalah seorang rawi yang apabila menyampaikan melakukan tadlis dengan salah satu di antara macam-macam tadlis yang akan diterangkan nanti, insya Allah.
Catatan:
Imam Bukhari dan gurunya Ibnul Madini serta sebagian imam ahli hadits  mensyaratkan bahwa rawi harus benar-benar bertemu dengan rawi yang diambil riwayatnya dengan ‘an’anah (dari fulan,…dst.), adapun mayoritas para imam, terlebih Imam Muslim, maka mereka mencukupkan diri dengan betul-betulnya mereka berada di masa yang sama, meskipun tidak (jelas) satu berita pun bahwa mereka berdua berkumpul dan berbicara langsung. Imam Muslim juga menukilkan tentang adanya kesepakatan tentang hal itu dalam Mukadimah kitab shahihnya.
Mubham
Mubham adalah orang yang tidak jelas namanya dalam matan maupun isnad, baik terkait dengan perawi atau orang yang memiliki hubungan dengan riwayat.
Mubham dalam matan contohnya hadits Ibnu Abbas, bahwa ada seorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah haji itu (wajib) setiap tahun?”
Di sini ada seorang yang masih mubham, tetapi diketahui berdasarkan riwayat yang lain, bahwa nama penanya itu adalah Al Aqra’ bin Habis.
Adapun mubham dalam sanad contohnya hadits Rafi’ bin Khadiij dari pamannya tentang larangan melakukan mukhabarah.
Di sanadnya terjadi mubham, yaitu pada paman Rafi’ bin Khadij, padahal riwayat itu darinya, tetapi diketahui dari riwayat yang lain bahwa namanya adalah Zhahiir bin Raafi’.

Hadits ‘Ali Isnad dan Nazil Isnad
Hadits ‘Ali Isnad adalah hadits yang sedikit jumlah perawinya jika melihat kepada sanad yang lain yang hadits datang dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga para perawi sanadnya dekat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau dekat dengan salah satu dari imam ahli hadits.
Hadits Nazil Isnad adalah kebalikan dari hadits ‘Ali Isnad.

Hadits Mursal
Hadits Mursal adalah hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’in kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir tanpa menyebutkan para perawi yang mendengarkan hadits melalui perantaraan mereka, baik mereka sahabat atau tabi’in. Kesimpulannya, hadits mursal adalah hadits yang terputus di akhir sanad.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Maraasil[2] dari Az Zuhri, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminta bantuan dengan beberapa orang Yahudi di Khaibar dalam perangnya, lalu Beliau memberikan bagian untuk mereka.”
Az Zuhri adalah salah seorang imam dari kalangan tabi’in (bukan sahabat), ia meriwayatkan hadits ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara langsung tanpa menyebutkan perantara yang mendengar hadits itu, yaitu sahabat atau tabi’in.
Faedah:
Mursal Sahabiy adalah seorang sahabat mengabarkan perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau perbuatannya, namun ia tidak mendengar langsung atau menyaksikannya. Sebabnya adalah karena usianya yang masih kecil, terlambat masuk Islamnya atau sedang tidak hadir di hadapan Beliau. Banyak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat kecil seperti Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair dan lainnya. Hukum mursal sahabat adalah diterima, karena para sahabat semuanya adil.

Hadits Gharib
Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang di tempat mana saja dari sanad. Dinamakan dengan gharib karena ia seperti orang asing yang tidak memiliki keluarga di dekatnya atau karena jauhnya dari tingkatan masyhur apalagi mutawatir.
Contohnya adalah hadits “Innamal a’maalu bin niyyat…dst.” Hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Umar bin Khaththab, lalu oleh ‘Alqamah, lalu oleh Muhammad bin At Taimiy, lalu oleh Yahya bin Sa’id Al Anshariy, kemudian setelah itu menjadi masyhur.

Hadits Munqathi’
Hadits Munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung isnadnya disebabkan gugurnya seorang rawi atau lebih di salah satu tempat atau beberapa tempat dengan syarat tidak berturut-turut gugurnya.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya no. 3586, ia berkata:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ الرَّأْيَ إِنَّمَا كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُصِيبًا لِأَنَّ اللَّهَ كَانَ يُرِيهِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنَّا الظَّنُّ وَالتَّكَلُّفُ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Mahriy, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata ketika ia berada di atas mimbar, “Wahai manusia! Sesungguh pendapat itu jika berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka akan benar, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperlihatkannya kepada Beliau, tetapi jika dari kita, maka itu adalah sangkaan dan sikap memberatkan diri.”
Imam Al Mundziri berkata, “Hadits ini munqathi’, Az Zuhriy (Ibnu Syihab) tidak bertemu dengan Umar radhiyallahu 'anhu.” Sehingga sanadnya tidak bersambung.

Hadits Mu’dhal
Hadits Mu’dhal adalah hadits yang gugur dalam isnadnya dua orang rawi atau lebih secara berurutan di satu tempat dari sanad atau di tengah-tengahnya.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim[3] dengan sanadnya yang sampai kepada Qa’nabiy, dari Malik:
عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ
Dari Malik, bahwa sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bagi budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian secara ma’ruf, dan tidak dibebani pekerjaan kecuali yang sesuai kesanggupannya.”
Hakim berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik, ia memu’dhalkannya dalam Al Muwaththa’[4].
Sebab mu’dhalnya adalah bahwa dalam sanadnya terdapat dua rawi yang gugur secara berurutan, yakni antara Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya.

Hadits Mudallas
Hadits Mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacat dalam isnadnya agar tampak baik di luarnya. Tadlis secara bahasa artinya menyembunyikan cacat.
Macam-macam tadlis:
1.      Tadlis Taswiyah.
Tadlis Taswiyah adalah periwayatan oleh rawi dari gurunya lalu digugurkan seorang rawi yang dha’if antara dua orang tsiqah yang satu bertemu dengan yang lain. Orang yang paling masyhur melakukan tadlis ini adalah Baqiyyah bin Al Walid.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (‘Ilalul Hadits 2/155) ia berkata: Aku mendengar bapakku –ia sebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih dari Baqiyyah- : Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb Al Aasdiy dari Nafi’ dari Ibnu Umar sebuah hadits yang berbunyi, “Janganlah kamu puji keislaman seseorang sampai kamu mengetahui bagusnya pendapatnya.
Bapakku (Abu Hatim) berkata, “Hadits ini ada masalah yang sedikit orang memahaminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr –ia adalah tsiqah- dari Ishaq bin Abi Farwah –ia adalah dha’if- dari Nafi’ –ia adalah tsiqah- dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ubaid bin ‘Amr kunyahnya adalah Abu Wahb, yakni Asadiy, lalu Baqiyyah menyebutnya dengan kunyah(panggilan)nya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak disadari, sehingga ketika Ishaq bin Abi Farwah telah ditinggalkan, maka tidak ada yang tahu…dst[5].”
2.      Tadlis Isnad
Tadlis Isnad adalah seorang rawi meriwayatkan dari orang yang mendengar sebuah hadits, namun rawi ini tidak mendengarnya darinya tanpa menyebutkan bahwa ia mendengarnya secara tegas, yakni menyebutkan dengan lafaz yang kesannya mendengarkan, seperti kata ‘An” (dari), “Anna” (bahwa) atau “Qaala” (ia berkata)…dst.”
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam ‘Amalul Yaumi Wal Lailah hal. 431 dengan sanadnya dari dua jalan dari Abuz Zubair dari Jabir ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setiap malam tidak tidur sampai membaca surat Tanzil As Sajdah dan Tabarakalladzii biyadihil mulk…dst.
Lalu ia (Nasa’i) meriwayatkan setelahnya dengan sanadnya yang sampai kepada Zuhair bin Mu’awiyah, bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Abuz Zubair, “Apakah engkau mendengar Jabir menyebutkan bahwa Nabiyyullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak tidur sampai membaca Alif Laam Miim Tanzil (As Sajdah) dan Tabaarak (Al Mulk)?” Ia menjawab, “Jabir tidak menceritakannya kepadaku, tetapi yang menceritakannya kepadaku adalah Shafwan atau Abu Shafwan.”
Ini adalah contoh Abuz Zubair melakukan tadlis, ia gugurkan perantara mendengarnya hadits ini dari Jabir.
3.      Tadlis Syuyukh
Tadlis Syuyukh adalah seorang rawi meriwayatkan dari seorang guru sebuah hadits yang ia dengar darinya, lalu rawi itu menamai gurunya itu atau menyebut kunyahnya atau menyifatinya dengan sifat yang tidak diketahui agar tidak diketahui dan disadari oleh orang lain.
Contohnya adalah ucapan Abu Bakar bin Mujahid –salah satu imam qari’-: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…dst, maksudnya adalah Abu Bakar bin Abi Dawud As Sijistaniy, perbuatannya ini memutuskan jalan bagi pendengar untuk mengetahuinya dan menjadikannya sukar diketahui.
Ada contoh lain dari tadlis yang diterangkan oleh Ahlul Hadits, lihat Mukaddimah Ibnush Shalah (hal. 66), Al Iqtirah (hal. 208) oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied, Tadribur Rawi (1/223) dan At Taqyid wal Iidhah (hal. 95).

Hadits Syadz
Hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, namun menyelisihi yang lebih kuat darinya baik dari sisi hapalan maupun jumlah yang meriwayatkan.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (1/321) ia berkata:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Usamah bin Zaid dari Utsman bin ‘Urwah dari Urwah dari Aisyah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada shaf bagian kanan.”
Syaikh Ali bin Hasan berkata, “Isnadnya para perawinya adalah tsiqah dan zhahirnya adalah sahih, tetapi dalam matannya Usamah bin Zaid keliru, ia meriwayatkan dengan lafaz, “Alaa mayaaminish shufuuf.” Sedangkan jamaah para rawi yang tsiqah[6] meriwayatkan dengan dengan lafaz:
عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ
“Kepada orang-orang yang menyambung shaf.”
Oleh karena itu, Imam Baihaqi dalam Sunannya (3/103) mengisyaratkan syadznya dengan berkata, “Itulah yang mahfuzh.”

Hadits Maqlub
Maqlub artinya terbalik. Maqlub terbagi dua:
1.      Terbaliknya lafaz dengan yang lain,
Hal ini bisa terjadi dalam sanad hadits dari sisi para perawinya. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah, lalu rawi terbalik sehingga mengatakan dari Murrah bin Ka’ab.
Demikian pula bisa terjadi dalam matan hadits dari sisi lafaz. Contohnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu tentang tujuh golongan orang yang mendapatkan naungan Allah di bawah naungan ‘Arsyi-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, di sana disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ يَمِيْنُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya.”
Hal ini termasuk maqlub yang terjadi oleh sebagian rawi, karena yang sahih adalah:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya.”
2.      Terbaliknya isnad matan dengan isnad matan yang lain, dan digantinya isnad matan ini dengan isnad pertama dengan tujuan menguji atau lainnya.
Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh ulama Baghdad terhadap Imam Bukhari rahimahullah, ketika mereka merubah seratus hadits kepadanya dan mereka bertanya tentangnya untuk menguji hapalannya, lalu ia mengembalikkannya seperti ketika sebelum diganti dan tidak keluru pada salah satunya. Hal ini menunjukkan kuatnya hapalan Imam Bukhari, encer akalnya, teliti dan jauhnya pandangannya.

Hadits Fard
Fard artinya sendiri. Fard terbagi dua:
1.    Fard Mutlak, yaitu hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang tsiqah, yakni tidak ada orang tsiqah yang meriwayatkan selain dia. Contohnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertanya kepada Abu Waqid Al Laitsi tentang surat yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baca dalam shalat Idul Adh-ha dan Idul Fitri? Maka ia menjawab:
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ ( ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ ) وَ ( اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ ) 
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kedua shalat itu membaca Qaaf wal Qur’aanil Majiid (surat Qaaf) dan Iqtarabatis saa’atu wan syaqqal qamar (surat Al Qamar). (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
     Al Hafizh Al ‘Iraqiy (At Tabshirah wat Tadzkirah 1/220) berkata, “Hadits ini datang dari riwayat Dhamrah bin Sa’id Al Maazinniy dari Abdullah bin Abdullah bin Abi Waqid Al Laitsi dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkannya selain Dhamrah, dan telah diriwayatkan dari jalan-jalan yang lain yang dha’if.”
2.    Fard Muqayyad. Ia terbagi dua:
a.       Apabila penduduk suatu negeri yang meriwayatkannya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain penduduk negeri ini atau itu.
Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata:
وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ .
“Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan dua anak Baidha’ di Masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.”
Hakim dalam Ma’rifatu Ulumil Hadits hal. 97 berkata, “Penduduk Madinah meriwayatkannya sendiri, para perawinya semuanya adalah Madaniyyun (orang-orang Madinah), dan telah diriwayatkan dengan isnad yang lain dari Musa bin ‘Uqbah dari Abdul Wahid bin Hamzah dari Abdullah bin Az Zubair dari Aisyah, dan semuanya adalah Madaniyyun, tanpa ada orang lain yang ikut serta (di luar penduduk Madinah).”
b.      Apabila seorang rawi tertentu meriwayatkannya, yakni tidak ada yang meriwayatkan dari fulan selain fulan, meskipun hadits itu diriwayatkan dari beberapa jalan dari selainnya.
Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunannya (1059), Abu Dawud dalam Sunannya (3744) dari jalan Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari anaknya Bakr bin Wa’il dari Az Zuhriy dari Anas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ 
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah terhadap Shafiyyah binti Huyay dengan sawiq (tepung) dan kurma.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib.”
Ibnu Thahir dalam Athraful Gharaa’ib berkata, “Gharib dari hadits Bakr bin Wa’il, Wa’il bin Dawud meriwayatkan secara sendiri, dan tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Sufyan bin ‘Uyaynah.”

Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits yang tampak dalam sanadnya atau matannya ‘illat (cacat) yang mencemarkan kesahihannya, padahal di luarnya tampak tidak ada cacat.
Imam Hakim dalam Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hal. 119 menyebutkan sepuluh jenis ‘illat dan memberikan contohnya, di akhir ia berkata, “Kami telah menyebutkan beberapa ‘illat hadits dengan sepuluh jenisnya, dan masih ada jenis-jenis lainnya yang belum kami sebutkan.”
Di sini akan diterangkan dua jenis saja, yaitu ;illat pada sanad berikut contohnya, dan illat pada matan berikut contohnya.
Faedah/Catatan:
Cara mengetahui hadits Mu’allal adalah dengan mengumpulkan semua jalan hadits tersebut serta memperhatikan perbedaan perawinya, menimbang dhabit dan itqan (kuatnya), lalu menghukumi riwayat yang ma’lul tersebut.
Contoh Hadits Mu’allal pada sanad:
Hadits Ya’la bin ‘Ubaid dari Ats Tsauriy dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’, “Al Bayyi’aani bil khiyar…dst[7].” (Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar…dst). Ya’la keliru mengira (wahm) terhadap Sufyan Ats Tsauriy pada perkataannya, “Amr bin Dinar,” padahal sebenarnya Abdullah bin Dinar. Maka sanad hadits ini mu’allal (ber’illat) meskipun matannya shahih[8].
Contoh Hadits Mu’allal pada matan adalah penafian membaca basmalah dalam shalat, yang diriwayatkan dari Anas, yaitu pada riwayat yang Muslim meriwayatkannya secara sendiri dalam shahihnya dari jalan Al Walid bin Muslim. Banyak para imam seperti Syafi’i, Daruquthni, Baihaqi dan lainnya yang mencacatkan riwayat ini, yang di sana ditegaskan penafian basmalah, bahwa rawi di antara para perawi hadits tersebut ketika mendengar perkataan Anas radhiyallahu 'anhu:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ{ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
“Aku shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka memulai dengan Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.”
Maka rawi ini mengira tidak membaca basmalah, sehingga ia meriwayatkan hadits sesuai yang ia pahami tetapi keliru, akibatnya ia berkata di akhir hadits, “Mereka tidak menyebutkan Bismillahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di akirnya.” Padahal riwayat yang banyak yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim adalah tidak adanya penegasan ini. Ini adalah ‘illat yang tersembunyi yang diketahui para ulama besar yang berpandangan dalam dan teliti.



Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah seorang rawi atau beberapa orang rawi dengan keadaan yang berbeda-beda padahal sama kuatnya, dan tidak mungkin ditarjih maupun digabungkan. Perbedaan yang terjadi ini menunjukkan tidak dhabit (kuatnya) rawi maupun beberapa orang rawi, sedangkan untuk diterimanya hadits disyaratkan rawi tersebut harus dhabit sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Pada umumnya mudhtharib terjadi pada sanad, namun terkadang terjadi pada matan.
Contoh mudtharib pada sanad adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaknya ia adakan di depannya sesuatu. Jika ia tidak mendapatkan, maka hendaknya ia tegakkan tongkat, dan jika tidak ada tongkat, maka hendaknya ia buat sebuah garis, selanjutnya tidak mengapa baginya ketika ada yang lewat di depannya[9].”
Hadits ini diperselisihkan terhadap rawinya, yaitu Isma’il bin Umayyah dengan perselisihan yang banyak:
Dikatakan: Darinya (Isma’il bin Umayyah), dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin Huraits dari kakeknya Huraits dari Abu Hurairah.
Dikatakan pula: Darinya, dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya Huraits bin Sulaim dari Abu Hurairah.
Dikatakan pula dari ini, itu, dst. sampai lebih dari sepuluh jalan. Oleh karena itulah, lebih dari seorang hafizh seperti An Nawawi dalam Al Khulashah, Ibnu ‘Abdil Hadiy dan lainnya dari kalangan ulama muta’akhirin menghukumi mudhthraibnya sanad ini[10].
Contoh mudhtarib pada matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[11] dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’biy dari Fathimah binti Qais  radhiyallahu 'anha ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang zakat, maka Beliau menjawab:
إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya pada harta ada hak selain zakat.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah[12] dari jalan ini pula dengan lafaz:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada hak dalam harta selain zakat.”
Al Hafizh Al ‘Iraqiy berkata: Ini adalah mudhtharib yang tidak menanggung (butuh) ta’wil…dst.”

Hadits Mudraj
Hadits Mudraj adalah hadits yang diketahui bahwa dalam sanadnya atau matannya ada tambahan atau selipan yang bukan bagian darinya, tetapi merupakan tambahan dari salah satu rawi tanpa diterangkan tentang tambahan itu.
Catatan:
Sebab adanya idraj (selipan) dalam hadits ada dua:
1.      Maksudnya menafsirkan kalimat yang asing, atau menerangkan yang musykil, atau menerangkan yang masih mujmal, atau berdalih dengan matan hadits terhadap suatu hukum syar’i yang disebutkannya.
2.      Maksudnya menyembunyikan, menjadikan salah atau menjadikannya asing.
Telah disusun beberapa karya untuk menerangkan hadits mudraj, namun belum ada yang dicetak selain Al Madraj karya As Suyuthi.
Contoh idraj dalam sanad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[13] dari jalan Ibnu Mahdiy dari Ats Tsauriy dari Washil Al Ahdab, Manshur dan Al Amasy dari Abu Wa’il dari Amr bin Syurahbil dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar?” Beliau menjawab, “Yaitu kamu adakan tandingan bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu…dst.”
Washil tidak menyebutkan ‘Amr bin Syurahbil dalam riwayatnya, ia hanya meriwayatkan dari Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud secara langsung[14]. Oleh karena itu, disebutkan ‘Amr bin Syurahbil merupakan idraj (selipan) terhadap riwayat Manshur dan Al A’masy.
Sedangkan contoh mudraj pada matan adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’[15], “Untuk budak yang dimiliki ada dua pahala. Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya. Seandainya tidak ada jihad fii sabilillah, haji dan berbakti kepada ibuku, tentu aku ingin mati dalam keadaan sebagai budak.”
Kata-kata, “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya…dst.” adalah ucapan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu[16], karena mustahil perkataan itu muncul dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Beliau tidak mungkin berharap menjadi budak, dan lagi ibunya tidak ada sehingga tidak dapat berbakti[17].

Aqran dan Mudabbaj
Aqran adalah para perawi yang yang berdekatan usia atau isnadnya.
Mudabbaj adalah dua orang rawi yang berdekatan usia atau isnadnya yang meriwayatkan, dimana masing-masingnya meriwayatkan dari yang lain (saling meriwayatkan).
Contoh:
1.      Di kalangan sahabat, yaitu riwayat Aisyah dari Abu Hurairah, dan riwayat Abu Hurairah dari Aisyah radhiyallahu 'anha.
2.      Di kalangan tabi’in, yaitu riwayat Az Zuhriy dari Umar bin Abdul ‘Aziz, dan riwayat Umar bin Abdul ‘Aziz dari Az Zuhriy.
3.      Di kalangan Atbaa’uttaabi’in, yaitu riwayat Malik dari Al Auza’iy, dan riwayat Al Auzaa’iy dari Malik.
Faedah:
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fat-h (1/510) berkata mengomentari hadits Bukhari no. 9 dari jalan Sulaiman bin Hilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Iman itu itu ada tujuh puluh cabang lebih…dst.”:
“Di dalam isnad yang disebutkan terdapat riwayat Aqran, yaitu Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih, karena keduanya adalah tabi’in, dan jika ditemukan riwayat Abu Shalih darinya, maka termasuk Mudabbaj.”

Muttafiq dan Muftariq
Muttafiq (sepakat) dan Muftariq (berbeda) adalah samanya nama-nama perawi dan nama bapak-bapak mereka baik tulisan maupun lafaznya, namun berbeda orangnya. Ada sejumlah Ahli Ilmu yang menyusun tentang masalah ini, di antara mereka adalah Al Khatib Al Baghdadi, namun bukunya belum dicetak.
Contoh:
1.      Al Khalil bin Ahmad: Ada enam orang yang ikut serta dalam nama ini, pertama adalah guru Sibawaih.
2.      Ahmad bin Ja’far bin Hamdan: Ada empat orang yang bernama ini dalam satu masa.

Mu’talif dan Mukhtalif
Mu’talif dan Mukhtalif adalah sama nama atau gelar atau kunyah (panggilan) atau nasab dalam tulisannya, namun berbeda di lafaznya, baik sumber ikhtilaf di lafaznya adalah titik maupun syakal(harakat)nya.
Contoh:
1.       سلام dan سلام : yang pertama ditakhfifkan (tidak ditasydid) lamnya, sehingga dibaca “Salaam”, sedangkan yang kedua ditasydidkan lamnya, sehingga dibaca “Sallam.”
2.       الثوري dan التوزي : yang pertama dengan tsa’ dan raa’, sehingga dibaca “Ats Tsauriy”, sedangkan yang kedua dengan taa’ dan zay, sehingga dibaca “At Tauziy.”

Hadits Munkar
Hadits Munkar menurut sebagian Ahli Musthalah adalah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang banyak salahnya, atau banyak lengahnya atau jelas kefasikannya selain dusta.” Tetapi yang umum di kalangan ahli hadits, terutama ahli hadits di kalangan muta’akhirin, bahwa maksud hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah yang menyelisihi orang-orang yang tsiqah.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Hubayyib bin Habib –yaitu saudara Hamzah bin Habib Az Zayyat Al Muqri’- dari Abu Ishaq dari Al ‘Aizaar bin Huraits dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Barang siapa yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka ia akan masuk surga…dst.”
Hadits ini adalah hadits munkar seperti yang dihukumi oleh Abu Hatim, karena selain Hubayyib yang terdiri dari orang-orang yang tsiqah meriwayatkan dari Abu Ishaq secara mauquf (tidak sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), dan itulah yang ma’ruf.

Matruk
Matruk adalah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang dha’if (lemah), dimana sebab kelemahannya adalah karena tertuduh dusta dalam haditsnya atau banyak kesalahan atau sangat lemah.
Contohnya adalah hadits ‘Amr bin Syimr Al Ju’fiy Al Kufiy Asy Syii’iy dari Jabir dari Abut Thufail dari Ali dan ‘Ammar; keduanya berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qunut di waktu fajar, bertakbir pada hari ‘Arafah dari (sehabis) shalat Subuh dan memutuskan (takbir) setelah shalat Ashar pada akhir hari tasyriq.” (Nasa’i, Daruquthni dan selainnya berkata tentang ‘Amr bin Syimr, “Matruk haditsnya.”)

Hadits Maudhu’
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang di dalamnya terdapat dusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, baik sengaja atau tidak.
Sebagian Ahli Mushthalah membedakan antara dusta yang terjadi dengan sengaja dengan yang tidak disengaja. Jika disengaja disebut Hadits Maudhu’, sedangkan jika tidak disengaja, maka disebut Hadits Bathil.
Contohnya adalah hadits yang dibuat untuk membela madzhab, seperti hadits, “Siraaju ummati Abu Hanifah.” (Pelita umatku adalah Abu Hanifah) yang dibuat oleh orang yang fanatik terhadap madzhab Hanafi. Demikian pula hadits, ‘Ali khairul basyar, man syakka fiihi kafar…dst.” Yang dibuat oleh sebagian kaum Rafidhah.
Dan ada lagi hadits-hadits yang maudhu’ yang dibuat karena beberapa sebab yang sudah dikenal oleh ulama, lihat sebab-sebabnya dalam kitab Al Wadh’ fil Hadits oleh Dr. Umar Fallatah.
Faedah:
Di antara kaedah umum untuk mengetahui suatu hadits sebagai hadits maudhu’ adalah:
1.      Hadits tersebut ucapannya tidak mirip dengan ucapan para nabi.
2.      Hadits tersebut isinya batil. Ketika isinya batil sudah dapat diketahui bahwa ia bukanlah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
3.      Hadits tersebut menyelisihi ketegasan Al Qur’an.
4.      Hadits tersebut jelek dan dijadikan bahan olok-olokan.




[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dari kitab At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid yang diringkas oleh Al Ustadz Marwan Bin Musa Hafidzhahullah - Staf Pengajar Ibnu Hajar Boarding School. 
[2] Nomor 281, Abdurrazzaq (9329) dan Ibnu Abi Syaibah (12/395). Baihaqi dalam Sunannya (9/53) berkata, “Isnadnya dha’if dan terputus.”
[3] Dalam Ma’rifatu Ulumil Hadits hal. 46.
[4] Syaikh Ali bin Hasan dalam At Ta’liiqat Al Atsariyyah hal. 46 berkata, “Perlu diketahui, bahwa Muslim memaushulkan (menyambung) hadits ini (1662) dari jalan Ibnu Wahb dari ‘Amr bin Harits dari Bukair bin Asyajj dari ‘Ajlan dari Abu Hurairah.
Ibnu Abdil Bar dan Al Mizziy dalam Al Athraf berkata, “Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Thuhman dari Malik dari Ibnu ‘Ajlan dari bapaknya dari Abu Hurairah, dan dimutaba’ahkan oleh Nu’man bin Abdussalam dari Malik.” Demikian yang dikatakan As Suyuthiy dalam Tanwirul Hawalik Syarh Muwaththa’ Malik (2/146), dan lihat At Talkhishul Habiir (4/13) oleh Al Hafizh Ibnu Hajar.
[5] At Taqyid wal Idhah (78) dan At Tadrib (1/225).
[6] Lihat ‘Ulumul Hadits hal. 91.
[7] Matan hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (2108), Muslim (1531), Abu Dawud (3454), Nasa’i (7/248), Tirmidzi (1245), Ibnu Majah (2181) dan Ahmad (2/73) dari beberapa jalan dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari (2113), Muslim (1531) (46), Nasa’i (7/220), Al Humaidiy (655), ‘Abdurrazzaq (14265), Baihaqi (5/269) dari beberapa jalan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar.
[8] Tadriburrawi (1/254), Irsyad Thullabil Haqaa’iq (1/243), dan lihat Irwaa’ul Ghalil (no. 1310/1).
Catatan: Dalam Sunan Nasa’i (4477) disebutkan dari jalan Makhlad dari Sufyan dari ‘Amr bin Dinar dari Umar, ini adalah tahrif (terjadi perubahan), yang benar adalah dari Abdullah bin Dinar sebagaimana dalam As Sunanul Kubra (6069) dan Tuhfatul Asyraf (7155).
[9] Hadits riwayat Ahmad (2/249), Abu Dawud (690), Ibnu Majah (923), Ibnu Khuzaimah (811), Baihaqi (2/271), Ibnu Hibban (2361) dari jalan Sufyan bin ‘Uyaynah dari Isma’il bin Umayyah dari Abu Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya dari Abu Hurairah. Hadits ini juga memiliki jalan-jalan lagi yang lain dalam jumlah banyak yang berbenturan, terlebih Abu Muhammad bin ‘Amr dan kakeknya adalah majhul. Lihat At Talkhishul Habir (1/286), Syarhul Musnad (7386), Nashburraayah (2/80) dan ‘Ilal Ibni Abi Hatim (534). Adapun hadits-hadits yang memerintahkan sutrah, maka ada dari jalan-jalan yang lain yang shahih, lihat Misykaatul Mashaabih (1/241) dan Shifat Shalatin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal. 72 oleh Syaikh Al Albani.
Yang tidak shahih dari riwayat di atas adalah perintah membuat garis, wallallahu  a’lam (lihat At Ta’liqqat Al Atsariyyah oleh Syaikh Ali bin Hasan hal. 62).
[10] Lihat Fat-hul Mughits bisyarh Alfiyyatil Hadits (1/222) oleh Al Hafizh As Sakhawiy.
[11] No. 659, Daruquthni (2/125), Thabari (2/57), Darimiy (1/385), Ibnu ‘Addi (4/1328), dan Thabrani dalam Al Kabir (32024). Syarik adalah seorang yang buruk hapalannya, sedangkan Abu Hamzah adalah dha’if.
[12] No. 1789. Hadits ini juga dha’if seperti sebelumnya, karena sanadnya sama, lihat At Talkhishul Habir 2/160, dan Ithafussaadatil Muttaqiin 4/105.
[13] No. 3182. Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari (7520) dari jalan Al A’masy, dan pada no. 6001 dari jalan Manshur. Muslim (86/141 dan 142) juga meriwayatkan dari jalan Manshur dan Al A’masy.
[14] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (4761) –dan bandingkanlah dengan yang disebutkan dalam Tuhfatul Asyraf (9311)-, Tirmidzi (3183), Nasa’i (4014) dari jalan Washil dari Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud.
[15] Imam Bukhari (2548) meriwayatkan asalnya, dan Muslim (1665).
[16] Sebagaimana dalam riwayat Ahmad (2/330) dan Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (32).
[17] Lihat Fat-hul Bari (5/176), Ash Shahiihah (2/565) dan Tadriburraawi (1/227).