Isnad
Isnad merupakan keistimewaan umat
ini. Oleh karena itulah, umat Islam disebagai Ummatul Isnad. Dengan isnad
diketahui suatu hadits diterima atau ditolak.
Sufyan Ats Tsauriy berkata:
اَلْاِسْنَادُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ، إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ
سِلاَحٌ، فَبِأَىِّ شَيْئٍ يُقَاتِلُ ؟
“Isnad adalah senjata orang mukmin. Jika ia tidak punya
senjata, maka dengan apa ia berperang?” (Disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam
Al Majruhiin 1/27).
Abdullah bin Al Mubarak berkata:
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ
مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad itu bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, tentu
orang akan berkata seenaknya.” (Disebutkan oleh Imam
Muslim dalam Mukadimah kitab shahihnya)
Ibnu Sirin berkata:
كَانَ فِي الزَّمَنِ الْأَوَّلِ لَا يَسْأَلُونَ عَنْ
الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ سَأَلُوا عَنْ الْإِسْنَادِ لِكَيْ
يَأْخُذُوا حَدِيثَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَيَدَعُوا حَدِيثَ أَهْلِ الْبِدَعِ
“Di masa pertama, orang-orang tidak mempertanyakan isnad,
tetapi ketika terjadi fitnah, maka mereka bertanya tentang isnad, agar mereka
(hanya) mengambil hadits Ahlussunnah dan meninggalkan hadits Ahlul Bid’ah.”
Hadits Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan
penukilan dari orang yang adil yang dhabit (kuat hapalan) dari awal hingga
akhir tanpa ada syadz dan ‘illat (cacat).
Contoh:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Imam Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu
Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya, ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah Ath Thuur di
shalat Maghrib.
Hadits ini adalah hadits shahih karena terpenuhi
syarat-syaratnya, dimana dalam isnadnya para perawinya (periwayatnya) tsiqah,
bersambung, tidak syadz atau ber’illat.
Bersambung (ittishal)
maksudnya mendengarnya setiap rawi dari rawi selanjutnya.
Isnad maksudnya silsilah para
perawi yang menyampaikan nash hadits. Bisa juga maksudnya menyandarkan hadits
kepada orang yang mengatakannya. Isnad terkadang disebut juga sanad, kecuali
ada qarinah (tanda) yang mengalihkan dari makna itu.
Syadz maksudnya riwayat rawi yang
diterima menyalahi yang lebih kuat, baik jumlahnya maupun ketsiqahannya.
‘Illat maksudnya sebab yang membuat
cacat keshahihan hadits yang tampak di luarnya sebagai hadits shahih. Biasanya
‘illat hadits hanya diketahui oleh orang yang dalam ilmunya tentang hadits.
Orang yang adil adalah rawi yang memiliki
sifat yang membuat pelakunya bertakwa, menjauhi dosa-dosa serta merusak harga
dirinya di tengah-tengah umat.
Dhabit maksudnya kuat ingatan dan
hati, teguh serta bisa menjaga yang ia tulis dari sejak menerima hadits itu dan
mendengarnya sampai menyampaikan. Berdasarkan keterangan ini, maka dhabit
terbagi dua:
a.
Dhabit
shadr (dada), yaitu seorang rawi hapal yang ia
dengar dengan hapalan yang memungkinkan untuk menghadirkanya kapan saja ia mau.
b.
Dhabit
kitab (kitab), yaitu ia bisa menjaga yang ia
tulis sejak mendengarnya dan ia mengesahkannya sampai ia menyampaikannya, ia
juga tidak menyerahkan kepada orang yang tidak bisa menjaganya dan memungkinkan
untuk merubahnya.
Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan
penukilan orang yang adil namun kurang kuat hapalannya, tanpa ada syadz dan
‘illat.
Contoh:
أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah syahadat
Laailaahaillallah sebelum kamu dihalangi mengucapkannya, dan ajarkanlah kepada
orang yang hampir mati di antara kamu.” (HR. Abu Ya’la (6147), Al Khathib dalam
Tarikhnya (3/38), Hamzah Al Kananiy dalam Ju’ul bithaaqah (no. 8), Ar Raafi’i
dalam Tarikh Qazwiin (4/74) dari dua jalan dari Dhimam bin Isma’il dari Musa
bin Wardan dari Abu Hurairah.)
Isnad ini adalah hasan, karena di dalamnya terdapat Dhimam
bin Isma’il yang menurut Adz Dzahabi, “Shalih haditsnya, namun sebagian mereka
(ahli hadits) menganggapnya lunak tanpa hujjah.”
Abu Zur’ah Al ‘Iraqiy dalam Dzailul Kaasyif hal. 144 menukil
dari Imam Ahmad bin Hanbal pendapatnya tentang Dhimam, ia berkata, “Shalih
haditsnya,” dan dari Abu Hatim, “Shaduq (sangat jujur) dan ahli ibadah.”,
sedangkan dari Nasa’i, “Tidak apa-apa terhadapnya.”
Al Haafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shaduuq, namun
terkadang ia keliru.”
Yang seperti ini derajat haditsnya adalah hasan.
Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak terkumpul padanya
sifat hadits hasan karena ada salah satu syaratnya yang hilang.
Hadits dha’if banyak macamnya. Akan dijelaskan nanti
macam-macamnya, Insya Allah.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi,
Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dan Ibnu Kuzaimah serta yang lainnya dari Abu Sa’id
Al Khudriy ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَتَعَاهَدُ الْمَسْجِدَ
فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ
“Apabila kamu melihat seseorang rutin ke masjid, maka
saksikanlah keimanannya…dst.”
Hadits ini adalah dha’if, karena dalam sanadnya terdapat
rawi yang namanya Darraj bin Sam’aan Abus Samh.
Adz Dzahabiy berkata tentangnya, “Darraj itu banyak
hadits-hadits munkarnya.”
Imam Ahmad dan lainnya berkata, “Hadits-haditsnya munkar.”
Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib (no. 1824), “Sangat
jujur, namun dalam riwayatnya dari Abul Haitsam adalah dha’if.”
Dan di sini Darraj meriwayatkan dari Abul Haitsam.
Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’
Apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (diam Beliau terhadap suatu
perbuatan yang disaksikannya) atau sifat fisik maupun akhlak disebut Hadits
Marfu’.
Contoh marfu’ ucapan adalah seorang rawi (periwayat)
mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:…dst.”
Contoh marfu’ perbuatan adalah seorang rawi
mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
melakukan…dst.”
Contoh marfu’ yang berupa taqrir adalah seorang rawi
mengatakan, “Dilakukan di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal ini
atau itu…dst.” Dan tidak ada riwayat pengingkaran dari Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam terhadap perbuatan itu.
Sedangkan contoh marfu’ yang berupa sifat adalah seorang
rawi mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang
paling sempurna akhlaknya…dst.” (HR. Bukhari dan Muslim) Atau rawi yang
mengatakan:
كَانَ أَبْيَض مَلِيحًا مُقَصَّدًا
“Beliau adalah seorang yang putih, manis dan sedang.”
(HR. Muslim)
Adapun yang disandarkan kepada para sahabat baik berupa
ucapan, perbuatan maupun taqrir disebut Mauquf.
Contoh:
Mauquf pada ucapan
adalah seperti perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, “Sampaikanlah
kepada manusia perkara yang mereka kenali (pahami), sukakah kamu jika Allah dan
Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq)
Mauquf pada perbuatan
adalah seperti perkataan Imam Bukhari, “Ibnu Abbas pernah mengimami, sedangkan
Beliau bersuci dengan bertayammum.” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq.
Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Riwayat ini disambung oleh Ibnu Abi Syaibah,
Baihaqi dan lainnya, dan isnadnya adalah hasan).
Mauquf yang berupa taqrir
adalah seperti perkataan tabi’in, “Saya melakukan perbuatan ini di hadapan
seorang sahabat, dan ia tidak mengingkariku.”
Faedah/Catatan:
Apabila seorang sahabat berkata, “ Termasuk Sunnah…dst.”
Atau berkata, “Kami di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan
ini dan itu…dst.” Atau ia (sahabat) mengatakan suatu perkataan yang di sana
bukan ruang berijtihad, maka hal ini tidak dihukumi mauquf, bahkan dinamakan
marfu’ hukman (dihukumi marfu’), yakni menduduki posisi perbuatan atau ucapan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari sisi kehujjahannya.
Jika riwayat itu disandarkan (hanya sampai) kepada tabi’in,
maka disebut Maqthu’.
Maqthu’ pada ucapan
adalah seperti pada perkataan Al Hasan Al Bashriy tentang shalat di belakang
Ahli Bid’ah, “Shalatlah (dengannya), sedangkan bid’ahnya adalah untuknya.”
(Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq).
Maqthu’ pada perbuatan
adalah seperti pada perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Al Muntasyir, “Masruq
memasang tirai antara dia dengan keluarganya, ia menghadap kepada shalatnya,
membiarkan mereka dan dunia mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani
dalam Hilyatul Auliya’ 2/96).
Musnad
Musnad artinya hadits marfu’ yang bersambung sanadnya.
Musnad juga berarti kitab yang di sana dihimpun
riwayat-riwayat setiap sahabat secara terpisah, seperti Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah, di sana disebutkan nama setiap sahabat dan
hadits-haditsnya.
Musalsal
Musalsal adalah hadits yang para perawi sanadnya bersamaan
dari awal hingga akhirnya dalam mengucapkan, atau dalam mencontohkan keadaan
atau dalam melakukan perbuatan.
Dalam mengucapkan seperti masing-masing mereka bersumpah
dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam mencontohkan keadaan seperti mernyampaikan hadits
sambil berdiri.
Dalam melakukan perbuatan seperti tersenyum setelah
menyampaikan hadits.
Hukum hadits musalsal ini adalah, bahwa hadits tersebut
diterima setelah terpenuhi syarat-syarat untuk diterima.
Ibnush Shalah dalam ‘Ulumul Hadits hal. 249 berkata,
“Sedikit sekali hadits musalsal itu yang selamat dari kelemahan, maksud saya,
dalam menyifati keadaannya, bukan pada matannya.”
Contoh:
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ يَا
مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي
عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku
berpesan kepadamu wahai Mu’adz, janganlah kamu tinggalkan mengucapkan di akhir
setiap shalat, “Allahuumma a’inniy ‘alaa dzikrik wa syukrik wa husni
‘ibaadatik.” (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, untuk bersyukur
kepada-Mu dan memperbaiki ibadah kepada-Mu). (HR. Ahmad 5/247, Nasa’i (3/53),
Abu Dawud (1522) dan Ibnu Khuzaimah (751) dengan sanad yang shahih).
Disebutkan dalam Musnad Ahmad:
وَأَوْصَى بِذَلِكَ مُعَاذٌ الصُّنَابِحِيَّ وَأَوْصَى
الصُّنَابِحِيُّ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَأَوْصَى أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عُقْبَةَ بْنَ مُسْلِمٍ
“Mu’adz berpesan seperti itu kepada Ash Shunabihi (rawi
setelahnya), Ash Shunabihi berpesan kepada Abu Abdurrahman, dan Abu
‘Abdurrahman berpesan kepada ‘Uqbah bin Muslim.
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy berkata: Syaikh Abul Faidh
Al Fadaniy berkata kepadaku: Sesungguhnya aku mencintaimu, lalu ia berkata,
“Telah menceritakan kepadaku beberapa orang syaikh, yaitu Umar bin Hamdan,
Muhammad bin Abdul Baqi Al Laknawi,…dst, dan masing-masingnya berkata kepadaku,
“Sesungguhnya aku mencintaimu.”
Seperti itulah permisalannya.
Hadits ‘Aziz
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua
orang dalam seluruh lapisan sanad dari rawi pertama, dan jumlahnya tidak kurang
dari itu.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Anas, dan Bukhari dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kamu
sampai aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan manusia semuanya.”
Al Hafizh menerangkan dalam Nuz-hatun Nazhar, bahwa hadits
ini diriwayatkan dari Anas oleh:
1.
Qatadah
dan Abdul ‘Aziz
2.
Syu’bah
dan Sa’id (dari Qatadah)
3.
Isma’il
bin ‘Ulayyah dan Abdul Warits (dari Abdul ‘Aziz)
4.
Lalu
dari masing-masingnya diriwayatkan oleh jamaah (banyak para perawi).
Hadits Masyhur
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga
orang atau lebih dalam seluruh lapisan sanad namun tidak sampai batasan
mutawatir. Hadits ini disebut juga Masyhur Isthilahi.
Contoh:
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mencabut ilmu secara
langsung Dia cabut dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan
mewafatkan para ulama, sehingga apabila Dia tidak menyisakan seorang yang
berilmu, maka manusia mengangkat para tokoh yang bodoh, lalu mereka ditanya,
sehingga mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, dan akhirnya mereka sesat dan
menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Umar oleh tiga orang atau
lebih dalam seluruh lapisan sanad sebagaimana disebutkan secara rinci di semua
sanad-sanadnya.
Selain Masyhur Ishthilahi di atas ada lagi masyhur
yang tidak ishthilahi, dimana hadits tersebut masyhur di kalangan golongan
tertentu atau salah satu generasi karena faktor-faktor tertentu, bahkan
terkadang suatu hadits masyhur di kalangan manusia namun tidak ada asal usulnya
atau tidak ada sanadnya. Masyhur ini terkadang ada yang shahih dan terkadang
mutawatir. Contoh masyhur selain masyhur isthilahi adalah:
1.
Masyhur
di kalangan Ahli Hadits saja.
2.
Masyhur
di kalangan Ahli Hadits, ulama dan masyarakat awam.
3.
Masyhur
di kalangan Ahli fiqh.
4.
Masyhur
di kalangan Ahli Ushul.
5.
Masyhur
di kalangan Ahli Nahwu.
6.
Masyhur
di kalangan masyarakat.
Hadits Mu’an’an
Hadits Mu’an’an adalah hadits yang seorang rawinya atau
lebih berkata, “Dari fulan, dari fulan…dst.”
Jika rawinya adalah seorang mudallis dan tidak menyebutkan
secara tegas tahdits (haddatasana, yang artinya telah menceritakan kepada kami)
atau tidak menyebutkan sima’(mendengar)nya, maka hadits tersebut tertolak.
Tetapi, jika rawinya tsiqah (terpercaya) dan tsabt (teguh) yang tidak diketahui
tadlisnya, maka hadits tersebut diterima, demikian pula apabila hadits itu ada
keterangan dengan tegas bahwa rawi mendengarnya berdasarkan riwayat yang lain,
maka diterima pula.
Tadlis artinya menyembunyikan cacat. Orangnya disebut mudallis,
ia adalah seorang rawi yang apabila menyampaikan melakukan tadlis dengan
salah satu di antara macam-macam tadlis yang akan diterangkan nanti, insya
Allah.
Catatan:
Imam Bukhari dan gurunya Ibnul Madini serta sebagian imam
ahli hadits mensyaratkan bahwa rawi harus benar-benar bertemu dengan rawi
yang diambil riwayatnya dengan ‘an’anah (dari fulan,…dst.), adapun mayoritas
para imam, terlebih Imam Muslim, maka mereka mencukupkan diri dengan
betul-betulnya mereka berada di masa yang sama, meskipun tidak (jelas) satu
berita pun bahwa mereka berdua berkumpul dan berbicara langsung. Imam Muslim
juga menukilkan tentang adanya kesepakatan tentang hal itu dalam Mukadimah
kitab shahihnya.
Mubham
Mubham adalah orang yang tidak jelas namanya dalam matan
maupun isnad, baik terkait dengan perawi atau orang yang memiliki hubungan
dengan riwayat.
Mubham dalam matan contohnya hadits Ibnu Abbas, bahwa ada seorang
yang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah haji itu (wajib) setiap tahun?”
Di sini ada seorang yang masih mubham, tetapi diketahui
berdasarkan riwayat yang lain, bahwa nama penanya itu adalah Al Aqra’ bin
Habis.
Adapun mubham dalam sanad contohnya hadits Rafi’ bin Khadiij
dari pamannya tentang larangan melakukan mukhabarah.
Di sanadnya terjadi mubham, yaitu pada paman Rafi’ bin
Khadij, padahal riwayat itu darinya, tetapi diketahui dari riwayat yang lain
bahwa namanya adalah Zhahiir bin Raafi’.
Hadits ‘Ali Isnad dan Nazil Isnad
Hadits ‘Ali Isnad adalah hadits yang sedikit jumlah
perawinya jika melihat kepada sanad yang lain yang hadits datang dengan jumlah
perawi yang banyak, sehingga para perawi sanadnya dekat dengan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam atau dekat dengan salah satu dari imam ahli
hadits.
Hadits Nazil Isnad adalah kebalikan dari hadits ‘Ali Isnad.
Hadits Mursal
Hadits Mursal adalah hadits yang dimarfu’kan oleh seorang
tabi’in kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik berupa ucapan,
perbuatan maupun taqrir tanpa menyebutkan para perawi yang mendengarkan hadits
melalui perantaraan mereka, baik mereka sahabat atau tabi’in. Kesimpulannya,
hadits mursal adalah hadits yang terputus di akhir sanad.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Maraasil[2]
dari Az Zuhri, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
meminta bantuan dengan beberapa orang Yahudi di Khaibar dalam perangnya, lalu
Beliau memberikan bagian untuk mereka.”
Az Zuhri adalah salah seorang imam dari kalangan tabi’in
(bukan sahabat), ia meriwayatkan hadits ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam secara langsung tanpa menyebutkan perantara yang mendengar hadits itu,
yaitu sahabat atau tabi’in.
Faedah:
Mursal Sahabiy adalah seorang sahabat mengabarkan perkataan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau perbuatannya, namun ia tidak
mendengar langsung atau menyaksikannya. Sebabnya adalah karena usianya yang
masih kecil, terlambat masuk Islamnya atau sedang tidak hadir di hadapan
Beliau. Banyak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat kecil seperti
Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair dan lainnya. Hukum mursal sahabat adalah diterima,
karena para sahabat semuanya adil.
Hadits Gharib
Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang
di tempat mana saja dari sanad. Dinamakan dengan gharib karena ia seperti orang
asing yang tidak memiliki keluarga di dekatnya atau karena jauhnya dari
tingkatan masyhur apalagi mutawatir.
Contohnya adalah hadits “Innamal a’maalu bin niyyat…dst.”
Hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Umar
bin Khaththab, lalu oleh ‘Alqamah, lalu oleh Muhammad bin At Taimiy, lalu oleh
Yahya bin Sa’id Al Anshariy, kemudian setelah itu menjadi masyhur.
Hadits Munqathi’
Hadits Munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung
isnadnya disebabkan gugurnya seorang rawi atau lebih di salah satu tempat atau
beberapa tempat dengan syarat tidak berturut-turut gugurnya.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam Sunannya no. 3586, ia berkata:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ
بْنِ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ
وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ الرَّأْيَ إِنَّمَا كَانَ
مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُصِيبًا لِأَنَّ اللَّهَ
كَانَ يُرِيهِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنَّا الظَّنُّ وَالتَّكَلُّفُ
Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Mahriy, telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab, bahwa Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu berkata ketika ia berada di atas mimbar, “Wahai manusia!
Sesungguh pendapat itu jika berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka akan benar, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperlihatkannya
kepada Beliau, tetapi jika dari kita, maka itu adalah sangkaan dan sikap
memberatkan diri.”
Imam
Al Mundziri berkata, “Hadits ini munqathi’, Az Zuhriy (Ibnu Syihab) tidak
bertemu dengan Umar radhiyallahu 'anhu.” Sehingga sanadnya tidak bersambung.
Hadits
Mu’dhal
Hadits
Mu’dhal adalah hadits yang gugur dalam isnadnya dua orang rawi atau lebih
secara berurutan di satu tempat dari sanad atau di tengah-tengahnya.
Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim[3]
dengan sanadnya yang sampai kepada Qa’nabiy, dari Malik:
عَنْ
مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ
بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ
Dari
Malik, bahwa sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bagi budak berhak mendapatkan makanan
dan pakaian secara ma’ruf, dan tidak dibebani pekerjaan kecuali yang sesuai
kesanggupannya.”
Hakim
berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik, ia memu’dhalkannya dalam Al Muwaththa’[4].
Sebab
mu’dhalnya adalah bahwa dalam sanadnya terdapat dua rawi yang gugur secara
berurutan, yakni antara Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu
Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya.
Hadits
Mudallas
Hadits
Mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacat dalam isnadnya agar tampak baik
di luarnya. Tadlis secara bahasa artinya menyembunyikan cacat.
Macam-macam
tadlis:
1. Tadlis Taswiyah.
Tadlis
Taswiyah adalah periwayatan oleh rawi dari gurunya lalu digugurkan seorang rawi
yang dha’if antara dua orang tsiqah yang satu bertemu dengan yang lain. Orang
yang paling masyhur melakukan tadlis ini adalah Baqiyyah bin Al Walid.
Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (‘Ilalul Hadits 2/155) ia
berkata: Aku mendengar bapakku –ia sebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq
bin Rahawaih dari Baqiyyah- : Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb Al Aasdiy
dari Nafi’ dari Ibnu Umar sebuah hadits yang berbunyi, “Janganlah kamu puji
keislaman seseorang sampai kamu mengetahui bagusnya pendapatnya.”
Bapakku
(Abu Hatim) berkata, “Hadits ini ada masalah yang sedikit orang memahaminya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr –ia adalah tsiqah- dari Ishaq
bin Abi Farwah –ia adalah dha’if- dari Nafi’ –ia adalah tsiqah- dari Ibnu Umar
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ubaid bin ‘Amr kunyahnya adalah Abu
Wahb, yakni Asadiy, lalu Baqiyyah menyebutnya dengan kunyah(panggilan)nya dan
menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak disadari, sehingga ketika Ishaq bin
Abi Farwah telah ditinggalkan, maka tidak ada yang tahu…dst[5].”
2. Tadlis Isnad
Tadlis
Isnad adalah seorang rawi meriwayatkan dari orang yang mendengar sebuah hadits,
namun rawi ini tidak mendengarnya darinya tanpa menyebutkan bahwa ia
mendengarnya secara tegas, yakni menyebutkan dengan lafaz yang kesannya
mendengarkan, seperti kata ‘An” (dari), “Anna” (bahwa) atau “Qaala” (ia
berkata)…dst.”
Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam ‘Amalul Yaumi Wal Lailah
hal. 431 dengan sanadnya dari dua jalan dari Abuz Zubair dari Jabir ia berkata:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setiap malam tidak tidur sampai membaca
surat Tanzil As Sajdah dan Tabarakalladzii biyadihil mulk…dst.”
Lalu
ia (Nasa’i) meriwayatkan setelahnya dengan sanadnya yang sampai kepada Zuhair
bin Mu’awiyah, bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Abuz Zubair, “Apakah
engkau mendengar Jabir menyebutkan bahwa Nabiyyullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak tidur sampai membaca Alif Laam Miim Tanzil (As Sajdah) dan Tabaarak
(Al Mulk)?” Ia menjawab, “Jabir tidak menceritakannya kepadaku, tetapi yang
menceritakannya kepadaku adalah Shafwan atau Abu Shafwan.”
Ini
adalah contoh Abuz Zubair melakukan tadlis, ia gugurkan perantara mendengarnya
hadits ini dari Jabir.
3. Tadlis Syuyukh
Tadlis
Syuyukh adalah seorang rawi meriwayatkan dari seorang guru sebuah hadits yang
ia dengar darinya, lalu rawi itu menamai gurunya itu atau menyebut kunyahnya
atau menyifatinya dengan sifat yang tidak diketahui agar tidak diketahui dan
disadari oleh orang lain.
Contohnya
adalah ucapan Abu Bakar bin Mujahid –salah satu imam qari’-: Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…dst, maksudnya adalah Abu Bakar bin Abi
Dawud As Sijistaniy, perbuatannya ini memutuskan jalan bagi pendengar untuk
mengetahuinya dan menjadikannya sukar diketahui.
Ada
contoh lain dari tadlis yang diterangkan oleh Ahlul Hadits, lihat Mukaddimah
Ibnush Shalah (hal. 66), Al Iqtirah (hal. 208) oleh Ibnu Daqiqil
‘Ied, Tadribur Rawi (1/223) dan At Taqyid wal Iidhah (hal. 95).
Hadits
Syadz
Hadits
Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, namun
menyelisihi yang lebih kuat darinya baik dari sisi hapalan maupun jumlah yang
meriwayatkan.
Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (1/321) ia
berkata:
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عُرْوَةَ
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ
Telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami
Mu’awiyah bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Usamah bin
Zaid dari Utsman bin ‘Urwah dari Urwah dari Aisyah ia berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya bershalawat kepada shaf bagian kanan.”
Syaikh
Ali bin Hasan berkata, “Isnadnya para perawinya adalah tsiqah dan zhahirnya
adalah sahih, tetapi dalam matannya Usamah bin Zaid keliru, ia meriwayatkan
dengan lafaz, “Alaa mayaaminish shufuuf.” Sedangkan jamaah para rawi
yang tsiqah[6]
meriwayatkan dengan dengan lafaz:
عَلَى
الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ
“Kepada
orang-orang yang menyambung shaf.”
Oleh
karena itu, Imam Baihaqi dalam Sunannya (3/103) mengisyaratkan syadznya dengan berkata,
“Itulah yang mahfuzh.”
Hadits
Maqlub
Maqlub
artinya terbalik. Maqlub terbagi dua:
1. Terbaliknya lafaz dengan yang lain,
Hal
ini bisa terjadi dalam sanad hadits dari sisi para perawinya. Contohnya adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah, lalu rawi terbalik sehingga
mengatakan dari Murrah bin Ka’ab.
Demikian
pula bisa terjadi dalam matan hadits dari sisi lafaz. Contohnya adalah hadits
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu tentang tujuh golongan orang yang mendapatkan
naungan Allah di bawah naungan ‘Arsyi-Nya pada hari yang tidak ada naungan
kecuali naungan-Nya, di sana disebutkan:
وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ يَمِيْنُهُ مَا
تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan
seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga
tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya.”
Hal
ini termasuk maqlub yang terjadi oleh sebagian rawi, karena yang sahih adalah:
وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا
تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan
seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya.”
2. Terbaliknya isnad matan dengan isnad matan yang lain, dan
digantinya isnad matan ini dengan isnad pertama dengan tujuan menguji atau
lainnya.
Contohnya
adalah apa yang dilakukan oleh ulama Baghdad terhadap Imam Bukhari
rahimahullah, ketika mereka merubah seratus hadits kepadanya dan mereka
bertanya tentangnya untuk menguji hapalannya, lalu ia mengembalikkannya seperti
ketika sebelum diganti dan tidak keluru pada salah satunya. Hal ini menunjukkan
kuatnya hapalan Imam Bukhari, encer akalnya, teliti dan jauhnya pandangannya.
Hadits
Fard
Fard
artinya sendiri. Fard terbagi dua:
1.
Fard Mutlak, yaitu hadits yang
diriwayatkan sendiri oleh orang yang tsiqah, yakni tidak ada orang tsiqah yang
meriwayatkan selain dia. Contohnya adalah hadits Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertanya kepada Abu Waqid Al Laitsi tentang surat
yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baca dalam shalat Idul Adh-ha dan
Idul Fitri? Maka ia menjawab:
كَانَ
يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ ( ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ ) وَ ( اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ
وَانْشَقَّ الْقَمَرُ )
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kedua shalat itu membaca Qaaf wal
Qur’aanil Majiid (surat Qaaf) dan Iqtarabatis saa’atu wan syaqqal qamar
(surat Al Qamar). (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’i dan Ibnu Majah)
Al Hafizh Al ‘Iraqiy (At Tabshirah wat Tadzkirah 1/220) berkata, “Hadits ini
datang dari riwayat Dhamrah bin Sa’id Al Maazinniy dari Abdullah bin Abdullah
bin Abi Waqid Al Laitsi dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini
tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkannya selain Dhamrah, dan telah
diriwayatkan dari jalan-jalan yang lain yang dha’if.”
2.
Fard Muqayyad. Ia terbagi dua:
a.
Apabila penduduk suatu negeri yang meriwayatkannya, yakni
tidak ada yang meriwayatkannya selain penduduk negeri ini atau itu.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Aisyah radhiyallahu
'anha ia berkata:
وَاللَّهِ
لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى
الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ .
“Demi
Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan dua
anak Baidha’ di Masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.”
Hakim
dalam Ma’rifatu Ulumil Hadits hal. 97 berkata, “Penduduk Madinah
meriwayatkannya sendiri, para perawinya semuanya adalah Madaniyyun (orang-orang
Madinah), dan telah diriwayatkan dengan isnad yang lain dari Musa bin ‘Uqbah
dari Abdul Wahid bin Hamzah dari Abdullah bin Az Zubair dari Aisyah, dan
semuanya adalah Madaniyyun, tanpa ada orang lain yang ikut serta (di luar
penduduk Madinah).”
b.
Apabila seorang rawi tertentu meriwayatkannya, yakni tidak
ada yang meriwayatkan dari fulan selain fulan, meskipun hadits itu diriwayatkan
dari beberapa jalan dari selainnya.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunannya (1059), Abu Dawud dalam
Sunannya (3744) dari jalan Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari anaknya
Bakr bin Wa’il dari Az Zuhriy dari Anas:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ
حُيَيٍّ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ
“Bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah terhadap Shafiyyah binti
Huyay dengan sawiq (tepung) dan kurma.”
Tirmidzi
berkata, “Hadits ini gharib.”
Ibnu
Thahir dalam Athraful Gharaa’ib berkata, “Gharib dari hadits Bakr bin
Wa’il, Wa’il bin Dawud meriwayatkan secara sendiri, dan tidak ada yang
meriwayatkan darinya selain Sufyan bin ‘Uyaynah.”
Hadits
Mu’allal
Hadits
Mu’allal adalah hadits yang tampak dalam sanadnya atau matannya ‘illat (cacat)
yang mencemarkan kesahihannya, padahal di luarnya tampak tidak ada cacat.
Imam
Hakim dalam Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hal. 119 menyebutkan sepuluh jenis ‘illat
dan memberikan contohnya, di akhir ia berkata, “Kami telah menyebutkan beberapa
‘illat hadits dengan sepuluh jenisnya, dan masih ada jenis-jenis lainnya yang
belum kami sebutkan.”
Di
sini akan diterangkan dua jenis saja, yaitu ;illat pada sanad berikut
contohnya, dan illat pada matan berikut contohnya.
Faedah/Catatan:
Cara
mengetahui hadits Mu’allal adalah dengan mengumpulkan semua jalan hadits
tersebut serta memperhatikan perbedaan perawinya, menimbang dhabit dan itqan
(kuatnya), lalu menghukumi riwayat yang ma’lul tersebut.
Contoh
Hadits Mu’allal pada sanad:
Hadits
Ya’la bin ‘Ubaid dari Ats Tsauriy dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Umar secara
marfu’, “Al Bayyi’aani bil khiyar…dst[7].”
(Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar…dst). Ya’la keliru mengira (wahm)
terhadap Sufyan Ats Tsauriy pada perkataannya, “Amr bin Dinar,” padahal
sebenarnya Abdullah bin Dinar. Maka sanad hadits ini mu’allal (ber’illat)
meskipun matannya shahih[8].
Contoh
Hadits Mu’allal pada matan adalah penafian membaca basmalah dalam shalat, yang
diriwayatkan dari Anas, yaitu pada riwayat yang Muslim meriwayatkannya secara
sendiri dalam shahihnya dari jalan Al Walid bin Muslim. Banyak para imam
seperti Syafi’i, Daruquthni, Baihaqi dan lainnya yang mencacatkan riwayat ini,
yang di sana ditegaskan penafian basmalah, bahwa rawi di antara para perawi
hadits tersebut ketika mendengar perkataan Anas radhiyallahu 'anhu:
صَلَّيْتُ
خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ{ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
}
“Aku
shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan
Utsman, mereka memulai dengan Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.”
Maka
rawi ini mengira tidak membaca basmalah, sehingga ia meriwayatkan hadits sesuai
yang ia pahami tetapi keliru, akibatnya ia berkata di akhir hadits, “Mereka
tidak menyebutkan Bismillahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di
akirnya.” Padahal riwayat yang banyak yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim
adalah tidak adanya penegasan ini. Ini adalah ‘illat yang tersembunyi yang
diketahui para ulama besar yang berpandangan dalam dan teliti.
Hadits
Mudhtharib
Hadits
Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah seorang rawi atau beberapa
orang rawi dengan keadaan yang berbeda-beda padahal sama kuatnya, dan tidak
mungkin ditarjih maupun digabungkan. Perbedaan yang terjadi ini menunjukkan
tidak dhabit (kuatnya) rawi maupun beberapa orang rawi, sedangkan untuk
diterimanya hadits disyaratkan rawi tersebut harus dhabit sebagaimana telah
diterangkan sebelumnya.
Pada
umumnya mudhtharib terjadi pada sanad, namun terkadang terjadi pada matan.
Contoh
mudtharib pada sanad adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ
فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا ثُمَّ
لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
“Apabila
salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaknya ia adakan di depannya
sesuatu. Jika ia tidak mendapatkan, maka hendaknya ia tegakkan tongkat, dan
jika tidak ada tongkat, maka hendaknya ia buat sebuah garis, selanjutnya tidak
mengapa baginya ketika ada yang lewat di depannya[9].”
Hadits
ini diperselisihkan terhadap rawinya, yaitu Isma’il bin Umayyah dengan
perselisihan yang banyak:
Dikatakan:
Darinya (Isma’il bin Umayyah), dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin Huraits dari
kakeknya Huraits dari Abu Hurairah.
Dikatakan
pula: Darinya, dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya
Huraits bin Sulaim dari Abu Hurairah.
Dikatakan
pula dari ini, itu, dst. sampai lebih dari sepuluh jalan. Oleh karena itulah,
lebih dari seorang hafizh seperti An Nawawi dalam Al Khulashah, Ibnu
‘Abdil Hadiy dan lainnya dari kalangan ulama muta’akhirin menghukumi
mudhthraibnya sanad ini[10].
Contoh
mudhtarib pada matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[11]
dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’biy dari Fathimah binti Qais
radhiyallahu 'anha ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang zakat, maka Beliau menjawab:
إِنَّ
فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya
pada harta ada hak selain zakat.”
Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah[12]
dari jalan ini pula dengan lafaz:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى
الزَّكَاةِ
“Tidak
ada hak dalam harta selain zakat.”
Al
Hafizh Al ‘Iraqiy berkata: Ini adalah mudhtharib yang tidak menanggung (butuh)
ta’wil…dst.”
Hadits
Mudraj
Hadits
Mudraj adalah hadits yang diketahui bahwa dalam sanadnya atau matannya ada
tambahan atau selipan yang bukan bagian darinya, tetapi merupakan tambahan dari
salah satu rawi tanpa diterangkan tentang tambahan itu.
Catatan:
Sebab
adanya idraj (selipan) dalam hadits ada dua:
1. Maksudnya menafsirkan kalimat yang asing, atau menerangkan
yang musykil, atau menerangkan yang masih mujmal, atau berdalih dengan matan
hadits terhadap suatu hukum syar’i yang disebutkannya.
2. Maksudnya menyembunyikan, menjadikan salah atau
menjadikannya asing.
Telah
disusun beberapa karya untuk menerangkan hadits mudraj, namun belum ada yang
dicetak selain Al Madraj karya As Suyuthi.
Contoh
idraj dalam sanad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[13]
dari jalan Ibnu Mahdiy dari Ats Tsauriy dari Washil Al Ahdab, Manshur dan Al
Amasy dari Abu Wa’il dari Amr bin Syurahbil dari Abdullah bin Mas’ud ia
berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar?” Beliau
menjawab, “Yaitu kamu adakan tandingan bagi Allah, padahal Dia telah
menciptakanmu…dst.”
Washil
tidak menyebutkan ‘Amr bin Syurahbil dalam riwayatnya, ia hanya meriwayatkan
dari Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud secara langsung[14].
Oleh karena itu, disebutkan ‘Amr bin Syurahbil merupakan idraj (selipan)
terhadap riwayat Manshur dan Al A’masy.
Sedangkan
contoh mudraj pada matan adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’[15],
“Untuk budak yang dimiliki ada dua pahala. Demi Allah yang diriku di
Tangan-Nya. Seandainya tidak ada jihad fii sabilillah, haji dan berbakti kepada
ibuku, tentu aku ingin mati dalam keadaan sebagai budak.”
Kata-kata,
“Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya…dst.” adalah ucapan Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu[16],
karena mustahil perkataan itu muncul dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, karena Beliau tidak mungkin berharap menjadi budak, dan lagi ibunya
tidak ada sehingga tidak dapat berbakti[17].
Aqran
dan Mudabbaj
Aqran
adalah para perawi yang yang berdekatan usia atau isnadnya.
Mudabbaj
adalah dua orang rawi yang berdekatan usia atau isnadnya yang meriwayatkan,
dimana masing-masingnya meriwayatkan dari yang lain (saling meriwayatkan).
Contoh:
1. Di kalangan sahabat,
yaitu riwayat Aisyah dari Abu Hurairah, dan riwayat Abu Hurairah dari Aisyah
radhiyallahu 'anha.
2. Di kalangan tabi’in,
yaitu riwayat Az Zuhriy dari Umar bin Abdul ‘Aziz, dan riwayat Umar bin Abdul
‘Aziz dari Az Zuhriy.
3. Di kalangan Atbaa’uttaabi’in,
yaitu riwayat Malik dari Al Auza’iy, dan riwayat Al Auzaa’iy dari Malik.
Faedah:
Al
Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fat-h (1/510) berkata mengomentari hadits Bukhari
no. 9 dari jalan Sulaiman bin Hilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih
dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Iman itu itu
ada tujuh puluh cabang lebih…dst.”:
“Di
dalam isnad yang disebutkan terdapat riwayat Aqran, yaitu Abdullah bin Dinar
dari Abu Shalih, karena keduanya adalah tabi’in, dan jika ditemukan riwayat Abu
Shalih darinya, maka termasuk Mudabbaj.”
Muttafiq
dan Muftariq
Muttafiq
(sepakat) dan Muftariq (berbeda) adalah samanya nama-nama perawi dan nama
bapak-bapak mereka baik tulisan maupun lafaznya, namun berbeda orangnya. Ada
sejumlah Ahli Ilmu yang menyusun tentang masalah ini, di antara mereka adalah
Al Khatib Al Baghdadi, namun bukunya belum dicetak.
Contoh:
1. Al Khalil bin Ahmad: Ada enam orang yang ikut serta dalam
nama ini, pertama adalah guru Sibawaih.
2. Ahmad bin Ja’far bin Hamdan: Ada empat orang yang bernama
ini dalam satu masa.
Mu’talif
dan Mukhtalif
Mu’talif
dan Mukhtalif adalah sama nama atau gelar atau kunyah (panggilan) atau nasab
dalam tulisannya, namun berbeda di lafaznya, baik sumber ikhtilaf di lafaznya
adalah titik maupun syakal(harakat)nya.
Contoh:
1.
سلام dan سلام : yang pertama ditakhfifkan (tidak
ditasydid) lamnya, sehingga dibaca “Salaam”, sedangkan yang kedua ditasydidkan
lamnya, sehingga dibaca “Sallam.”
2.
الثوري dan التوزي : yang pertama dengan tsa’ dan raa’, sehingga dibaca “Ats
Tsauriy”, sedangkan yang kedua dengan taa’ dan zay, sehingga dibaca “At
Tauziy.”
Hadits
Munkar
Hadits
Munkar menurut sebagian Ahli Musthalah adalah hadits yang diriwayatkan sendiri
oleh orang yang banyak salahnya, atau banyak lengahnya atau jelas kefasikannya
selain dusta.” Tetapi yang umum di kalangan ahli hadits, terutama ahli hadits
di kalangan muta’akhirin, bahwa maksud hadits munkar adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang lemah yang menyelisihi orang-orang yang tsiqah.
Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Hubayyib bin
Habib –yaitu saudara Hamzah bin Habib Az Zayyat Al Muqri’- dari Abu Ishaq dari
Al ‘Aizaar bin Huraits dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau bersabda, “Barang siapa yang mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berhaji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka ia akan masuk surga…dst.”
Hadits
ini adalah hadits munkar seperti yang dihukumi oleh Abu Hatim, karena selain
Hubayyib yang terdiri dari orang-orang yang tsiqah meriwayatkan dari Abu Ishaq
secara mauquf (tidak sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), dan
itulah yang ma’ruf.
Matruk
Matruk
adalah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang dha’if (lemah), dimana
sebab kelemahannya adalah karena tertuduh dusta dalam haditsnya atau banyak kesalahan
atau sangat lemah.
Contohnya
adalah hadits ‘Amr bin Syimr Al Ju’fiy Al Kufiy Asy Syii’iy dari Jabir dari
Abut Thufail dari Ali dan ‘Ammar; keduanya berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam melakukan qunut di waktu fajar, bertakbir pada hari ‘Arafah dari
(sehabis) shalat Subuh dan memutuskan (takbir) setelah shalat Ashar pada akhir
hari tasyriq.” (Nasa’i, Daruquthni dan selainnya berkata tentang ‘Amr bin
Syimr, “Matruk haditsnya.”)
Hadits
Maudhu’
Hadits
Maudhu’ adalah hadits yang di dalamnya terdapat dusta atas nama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, baik sengaja atau tidak.
Sebagian
Ahli Mushthalah membedakan antara dusta yang terjadi dengan sengaja dengan yang
tidak disengaja. Jika disengaja disebut Hadits Maudhu’, sedangkan jika
tidak disengaja, maka disebut Hadits Bathil.
Contohnya
adalah hadits yang dibuat untuk membela madzhab, seperti hadits, “Siraaju
ummati Abu Hanifah.” (Pelita umatku adalah Abu Hanifah) yang dibuat oleh
orang yang fanatik terhadap madzhab Hanafi. Demikian pula hadits, ‘Ali
khairul basyar, man syakka fiihi kafar…dst.” Yang dibuat oleh sebagian kaum
Rafidhah.
Dan
ada lagi hadits-hadits yang maudhu’ yang dibuat karena beberapa sebab yang
sudah dikenal oleh ulama, lihat sebab-sebabnya dalam kitab Al Wadh’ fil
Hadits oleh Dr. Umar Fallatah.
Faedah:
Di
antara kaedah umum untuk mengetahui suatu hadits sebagai hadits maudhu’ adalah:
1. Hadits tersebut ucapannya tidak mirip dengan ucapan para
nabi.
2. Hadits tersebut isinya batil. Ketika isinya batil sudah
dapat diketahui bahwa ia bukanlah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam.
3. Hadits tersebut menyelisihi ketegasan Al Qur’an.
4. Hadits tersebut jelek dan dijadikan bahan olok-olokan.
[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dari kitab At
Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah oleh Syaikh ‘Ali
bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid yang diringkas oleh Al Ustadz Marwan Bin Musa
Hafidzhahullah - Staf Pengajar Ibnu Hajar Boarding School.
[2] Nomor 281, Abdurrazzaq (9329) dan
Ibnu Abi Syaibah (12/395). Baihaqi dalam Sunannya (9/53) berkata, “Isnadnya
dha’if dan terputus.”
[4] Syaikh Ali bin Hasan dalam At
Ta’liiqat Al Atsariyyah hal. 46 berkata, “Perlu diketahui, bahwa Muslim
memaushulkan (menyambung) hadits ini (1662) dari jalan Ibnu Wahb dari ‘Amr bin
Harits dari Bukair bin Asyajj dari ‘Ajlan dari Abu Hurairah.
Ibnu Abdil Bar dan Al Mizziy dalam
Al Athraf berkata, “Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Thuhman dari Malik dari Ibnu
‘Ajlan dari bapaknya dari Abu Hurairah, dan dimutaba’ahkan oleh Nu’man bin
Abdussalam dari Malik.” Demikian yang dikatakan As Suyuthiy dalam Tanwirul
Hawalik Syarh Muwaththa’ Malik (2/146), dan lihat At Talkhishul Habiir (4/13)
oleh Al Hafizh Ibnu Hajar.
[7] Matan hadits ini diriwayatkan oleh
Bukhari (2108), Muslim (1531), Abu Dawud (3454), Nasa’i (7/248), Tirmidzi
(1245), Ibnu Majah (2181) dan Ahmad (2/73) dari beberapa jalan dari Nafi’ dari
Ibnu Umar. Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari (2113), Muslim (1531) (46),
Nasa’i (7/220), Al Humaidiy (655), ‘Abdurrazzaq (14265), Baihaqi (5/269) dari
beberapa jalan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar.
[8] Tadriburrawi (1/254), Irsyad
Thullabil Haqaa’iq (1/243), dan lihat Irwaa’ul Ghalil (no. 1310/1).
Catatan: Dalam Sunan Nasa’i (4477)
disebutkan dari jalan Makhlad dari Sufyan dari ‘Amr bin Dinar dari Umar, ini
adalah tahrif (terjadi perubahan), yang benar adalah dari Abdullah bin Dinar
sebagaimana dalam As Sunanul Kubra (6069) dan Tuhfatul Asyraf (7155).
[9] Hadits riwayat Ahmad (2/249), Abu
Dawud (690), Ibnu Majah (923), Ibnu Khuzaimah (811), Baihaqi (2/271), Ibnu
Hibban (2361) dari jalan Sufyan bin ‘Uyaynah dari Isma’il bin Umayyah dari Abu
Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya dari Abu Hurairah. Hadits ini juga
memiliki jalan-jalan lagi yang lain dalam jumlah banyak yang berbenturan,
terlebih Abu Muhammad bin ‘Amr dan kakeknya adalah majhul. Lihat At Talkhishul
Habir (1/286), Syarhul Musnad (7386), Nashburraayah (2/80) dan ‘Ilal Ibni Abi
Hatim (534). Adapun hadits-hadits yang memerintahkan sutrah, maka ada dari
jalan-jalan yang lain yang shahih, lihat Misykaatul Mashaabih (1/241)
dan Shifat Shalatin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal. 72 oleh
Syaikh Al Albani.
Yang tidak shahih dari riwayat di
atas adalah perintah membuat garis, wallallahu a’lam (lihat At
Ta’liqqat Al Atsariyyah oleh Syaikh Ali bin Hasan hal. 62).
[11] No. 659, Daruquthni (2/125), Thabari
(2/57), Darimiy (1/385), Ibnu ‘Addi (4/1328), dan Thabrani dalam Al Kabir
(32024). Syarik adalah seorang yang buruk hapalannya, sedangkan Abu Hamzah
adalah dha’if.
[12] No. 1789. Hadits ini juga dha’if
seperti sebelumnya, karena sanadnya sama, lihat At Talkhishul Habir 2/160, dan
Ithafussaadatil Muttaqiin 4/105.
[13] No. 3182. Demikian pula diriwayatkan
oleh Bukhari (7520) dari jalan Al A’masy, dan pada no. 6001 dari jalan Manshur.
Muslim (86/141 dan 142) juga meriwayatkan dari jalan Manshur dan Al A’masy.
[14] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam
Shahihnya (4761) –dan bandingkanlah dengan yang disebutkan dalam Tuhfatul
Asyraf (9311)-, Tirmidzi (3183), Nasa’i (4014) dari jalan Washil dari Abu Wa’il
dari Ibnu Mas’ud.