Catatan Perjalanan Penemu Metode Qiraati


 Catatan Perjalanan Penemu Metode Qiraati


“Kekasyafan, kekaromahan, dan power kewalian seseorang justru terkadang lebih tampak setelah ia meninggal.”

(Imam Ghazali).
Memperbincangkan KH. Dahlan Salim Zarkasyi, tentu kita tidak bisa lenggang begitu saja tanpa menyinggung Metode Qiraati, sebagai hasil penelitiannya (selama kurang lebih sepuluh tahun) di bidang pengajaran baca al Quran. Sementara mendiskusikan Metode Qiraati pula kita tidak bisa meninggalkan aturan main baca al Quran (ilmu Tajwid).
Al Quran adalah kalam Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril, dan diteruskan kembali kepada umat seluruh alam. Kitab suci, sebagai kebenaran kerasulan Muhammad saw, tertulis dalam bentuk mushaf yang mutawatir,juga muta’abbad bi tilawatih (berpahala jika dibaca). Diturunkan secara berangsur selama kurang lebih dua puluh tiga tahun dalam dua periode, Makah dan Madinah.
Dalam kurun waktu lebih dari 14 abad lamanya Kitab Suci tersebut dibaca dan dipelajari. Dibaca karena sebagai petunjuk dan obat (hudan wa syifa), sedang dipelajari guna meraih petunjuk dan obat.
Yang membaca dia akan mendapatkan petunjuk, yang mempelajari dia akan menemukan obat / formula, sedangkan yang membaca dan mempelajarinya dia akan sampai pada keduanya, yakni petunjuk dan obat / formula.
Salah satu obat atau formula adalah lahirnya ilmu Tajwid. Tajwidterambil dari jawwada, berarti pembagusan atau perbaikan bacaan. Kata ini mengisyaratkan pada kita bahwa “perbaikan” adalah sebuah kewajiban. Kewajiban yang tiada henti. Usaha secara terus menerus yang mungkin tiada akhir. Namun ukurannya bisa sangat sederhana yaitu hari ini lebih baik dari hari kemarin. Makna tajwidsecara teknis menjadi, mengucapkan setiap huruf secara benar hingga tidak meninggalkan sifat-sifatnya, seperti istifal-isti’la’, hams, dan jahr. Juga syiddah-rakhawah dimana saat melafadzkannya akan muncul ketentuan-ketentuan seperti tarqiq-tafkhim, idhar-idgham, mad dan lain sebagainya.

Karena itu, mengetahui tajwid adalah menumbuhkan seni baca Kitab Allah, melestarikan keindahannya dengan ke-fashih-an dari awal baca sampai akhir dan berhenti (waqaf). Dengan demikian, yangngaji akan terjaga lisannya dari kesalahan dan berpahala. Begitulah kiranya Ibn Jazari (751-833 H.) berpendapat bahwa hukum membaca al Quran dengan mujawwad murattal adalah wajib. Pendapat ini beliau rangkum dalam barisan syair merentang sepanjang bait 71-74 dalam karya monumentalnya Matan Jazariyah :
Sedangkan Metode Qiraati adalah sebuah cara mengajar baca al-Quran secara baik dan benar (mujawwad murattal). Metode ini terangkum dalam bentuk buku-buku kecil berkelompok yang disesuaikan dengan kaidah ilmu Tajwid. So, siapapun yang membaca buku tersebut akan menemukan sebuah harapan, bahwa ia akan dapat membaca secara mujawwad murattal. Membaca tanpa meninggalkan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh ilmu Tajwid, meskipun orang tersebut belum pernah belajar ilmu Tajwid. Namun perlu disadari, sebaik apapun sebuah metode mengajar cara baca al Quran jika tidak diimbangi dengan guru-guru yang baik maka hasilnya pun kurang maksimal. Demikianlah yang dinginkan KH. Dachlan Salim Zarkasyi, yakni, mencetak anak-anak yang baik (bacaannya) melalui guru-guru yang baik (bacaannya) pula. Inilah salah satu alasan manarik kenapa biografi beliau diperbincangkan.
Pada awalnya KH. Dahlan Salim Zarkasyi sendiri kurang setuju perihal hukum baca al Quran dengan baik dan benar adalah fardlu ‘ain (semacam beban hukum (kewajiban) yang dikenakan pada setiap orang). Sementara mempelajari Ilmu Tajwid adalah fardlu kifayah (gugurnya beban hukum (kewajiban) yang jika ada seseorang telah melakukan). “Bagaimana mungkin seseorang dapat membaca al Quran dengan baik dan benar jika tidak mengetahui hukum tajwidnya.” Pertanyaan ini kemudian Beliau ajukan ke beberapa Kyai ahli al Quran di Jawa Tengah. Dari sini beliau dapat bekal berupa bukti-bukti dan argumentasi yang kemudian dijadikan sebagai dasar pola penyusunan Buku Metode Qiraati.
Hal lain yang patut kita perhatikan dari KH. Dachlan Salim Zarkasyi adalah mengenahi kritiknya terhadap dunia pendidikan. Sebagian besar guru masih menganggap bahwa anak adalah objek pendidikan, bukan pelaku. Padahal sebenarnya mereka adalah pelaku, yang belajar bukan yang diajar. Karena jika anak-anak sebagai pelaku, maka setiap anak memiliki kesempatan untuk bisa. Kemampuan untuk menyerap ilmu yang disampaikan para guru. Oleh karena itu, KH. Dachlan Salim Zarkasyi menyimpulkan bahwa tidak ada anak yang tidak bisa belajar, tapi yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajar. Karena itu jangan heran jika di “lingkungan” Qiraati kualitas guru sangat diperhatikan
Saya pernah bertanya mengenahi damonan, resep keberhasilan Beliau dalam mengajar. Ternyata, jawabannya pun sangat sederhana. Jauh, di luar apa yang saya pikirkan. Selain seorang guru harus selalu sabar, syukur, dan ikhlas. Seorang guru juga harus mampu mengatakan bahwa, “aku butuh mengajar.”
Sabar, syukur, dan ikhlas. Tiga kata ini memang sangat mudah dikatakan, mungkin tak semudah pelaksanaannya. Tapi jika ada kemauan, toh jalan pasti akan terbuka. Jika kita mau merenung sebentar, Tiga sifat tersebut memang sudah seharusnya dimiliki siapa saja yang berjiwa “mendidik.”
Sikap (sabar, syukur, dan ikhlas) ini merupakan buah dari bentuktirakat seorang pendidik. Tirakat adalah meninggalkan hal-hal yang selayaknya tidak dimiliki, dilakukan, atau dibiasakan oleh seseorang. Di sini, bukan ketika sifat itu harus ditinggalkan, melainkan guru seyogyanya membuang jauh-jauh sikap-sikap yang berlawanan dengan ketiga sifat tersebut. Ketiga sifat itu harus selalu ditumbuhkan dan dijaga. Singkatnya, jika ketiga sifat ini dipraktekkan, maka orang tersebut akan segera menyadari posisi sebenarnya. Bahwa tugas guru hanyalah menemani dan mengarahkan, bukan yang menentukan atau pemberi otoritas ilmu.
Dengan demikian, jika proses belajar selesai, semua dititipkan dan diserahkan kembali kepada Allah Yang Maha berilmu. Maka yang terjadi seorang guru tidak akan pernah lewat mendoakan murid-muridnya. Karena itu wajar jika keberhasilan KH. Dahlan Salim Zarkasyi selalu diiringi dengan sikap tawadlu’ yang selalu kitaketahui dari dawuh-dawuh Beliau, “ini semua inayah (pertolongan) Allah…, ini semua kersane (kehendak) Gusti Allah…”.
“Aku butuh mengajar....!”
Pernahkan kita berpikir demikian, terucap di dalamnya hati. Coba kita renungkan dawuh KH. Dahlan Salim Zarkasyi ini. Siapapun yang butuh, dia akan tergerak dan bangkit. Berusaha meraih sekuat tenaga terhadap apa yang ia butuhkan. Pesan tersebut bukanlah sembarang pesan, tapi sebuah motivasi tingkat tinggi. Saudara, renungkanlah!
***

Sumber: www.qiraati.org